Dalam menjalankan aktifitas perekonomian, dibutuhkan bekal ilmu tentang ekonomi yang sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh syariah, agar senantiasa bisa mengikuti tatanan yang dikonsepkan oleh hukum-hukum syariah serta terhindar dari praktik-praktik yang diharamkan oleh syariah.

Realitanya, tak jarang kita temukan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan konsep hukum syariah, yakni menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan lebih tanpa memikirkan nasib rugi orang lain. Oleh karenanya, untuk menghindarkan dari praktik-praktik yang jelas merugikan orang lain, butuh ilmu yang dapat direalisasikan dan diaplikasikan sehari-hari, khususnya ilmu dalam bidang perekonomian, bisnis dan muamalah yang notabenenya tidak akan terlepas dari kehidupan manusia.

Allah SWT telah tegas mengharamkan sesuatu yang dihasilkan dari barang haram atau cara yang haram. Bahkan, orang yang beribadah pun yang memohon ampunan pada Allah, menangisi dan menyesali atas dosanya yang diperbuat selama hidupnya tidak akan diterima ibadahnya, bila dia masih mengkonsumsi sesuatu yang haram.

Ilmu yang wajib diketahui oleh pelaku ekonomi adalah praktik riba yang diharamkan agar penggiat ekonomi tidak terjerumus pada lembah kedzaliman: kedzaliman pada dirinya, masyarakat dan agamanya. 

Imam al-Rozy mengungkapkan sebagian hikmah dalam pengharaman riba dalam tafsirnya tentang ayat-ayat riba sebagai berikut: 

a. Bahwa riba adalah mengambil (menerima) harta orang lain tanpa adanya padanan atau imbalan (pengganti). Contohnya orang yang menjual satu dirham dengan dua dirham baik secara tunai atau ditangguhkan pembayarannya (mu’ajjal), penjual menerima dua dirham tanpa adanya iwad atau pengganti. Adapun harta seseorang itu merupakan kehormatan besar atau haram untuk diambil oleh orang lain. 

Rasulullah Saw menegaskan pada umatnya tentang hakikat harta yang dimiliki pemiliknya sebagaimana sabda beliau, “Cukup seorang dianggap jelek adalah meremehkan saudaranya yang muslim, setiap muslim atas muslim lainnya adalah haram darahnya, hartanya, dan kehormatannya." (HR Muslim).

b. Riba -dalam perspektif perekonomian dan sosialisasi- mendorong pelaku riba malas-malasaan untuk berusaha dan bekerja untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari, karena pada kenyataannya bagi pelaku riba di saat mendapatkan uang riba, mereka malas-malasan mencari maisyah (kebutuhan hidup), tidak mau capek-capek bekerja, berdagang, dan berproduksi. Ia hanya ingin duduk manis di halaman rumahnya menunggu datangnya uang riba. Hal ini akan menyebabkan pelaku riba pada hilangnya mengambil kemanfaatan (sosialisasi) di antara sesama.

c. Riba –dalam perspektif etika- menyebabkan pada terputusnya amal ma’ruf/ baik yang berupa memberi utang pada sesama. Riba andai diperbolehkan maka seorang yang butuh akan memaksakan dirinya untuk mengambil riba yang pada ujungnya akan menyebabkan lenyapnya persaudaraan, amal ma’ruf, dan ihsan atau berbuat baik.

d. Riba –dalam perspektif kemanusian- kebanyakan orang yang memberi utang mereka adalah golongan orang-orang yang mampu (kaya) dan penerima utang mereka orang-orang yang faqir. Kalau riba diperbolehkan niscaya orang-orang kaya akan mengambil lebih dari piutang (harta) yang mereka pinjamkan pada orang-orang faqir yang dhoif. 

Alla kulli hal, riba adalah sebuah instrumen yang dapat merusak tatanan kehidupan manusia. Bahkan, para pelaku riba tatkala dibangkitkan dari alam kubur, tidak lah ia berdiri melainkan seperti seperti orang gila yang kerasukan setan. Dan riba hanyalah membuat pelakunya semakin rakus, hidup tidak tentram dan damai, selalu merasa kurang puas terhadap apa yang dimilikinya lantaran hatinya terkotori oleh hitamnya riba.

sumber : ramadan.detik.com

Post a Comment

Advertisement

close
close
iklan 120 x 600 kiri